Ratusan Anak Jadi Korban Rekrutmen Terorisme Lewat Game Online, Ini Temuan Densus 88
Jatmu.com - Jakarta. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri membongkar jaringan terorisme yang merekrut anak-anak melalui game online dan media sosial. Dalam setahun terakhir, Densus 88 telah menangkap lima tersangka dewasa yang terlibat dalam perekrutan anak-anak untuk aksi radikalisme.
Baca juga : BNN Jatim Temukan 15 Pelajar SMP di Surabaya Positif Narkoba, Kawasan Kunti Jadi Sorotan
"Dalam setahun ini ada lima tersangka (dewasa) yang sudah diamankan oleh Densus 88," ujar AKBP Mayndra Eka Wardhana, juru bicara Densus 88, saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11/2025). Kelima tersangka ditangkap dalam tiga pengungkapan sejak akhir 2024 hingga November 2025. Lebih dari 110 anak dan pelajar dari 23 provinsi saat ini sedang teridentifikasi sebagai korban. Mayoritas berasal dari Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Karo Penmas Divisi Humas Polri, menyebut kelima tersangka berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi kelompok teror melalui media sosial. Merkea menggunakan platform umum seperti Facebook, Instargam, hingga game online untuk menarik perhatian anak-anak. Setelah itu, korban diarahkan ke grup privat yang lebih kecil dan terenkripsi, seperti di WhatsApp dan Telegram, untuk proses indoktrinasi lebih lanjut.
Para tersangka diketahui merupakan pemain lama jaringan teror, termasuk yang sebelumnya pernah menjalani proses hukum. Jaringan ini terafiliasi dengan Ansharut Daulah dan ISIS, memanfaatkan latar belakang agama untuk mendoktrin anak-anak dengan paham radikal.
Densus 88 mencatat faktor sosial menjadi salah satu faktor penyebab anak rentan terhadap radikalisasi.
Baca juga : 178 Pendaki Tertahan di Ranu Kumbolo Imbas Erupsi Gunung Semeru
"Dari hasil asesmen kerentanan anak dipengaruhi oleh sejumlah faktor sosial, di antaranya adalah bullying dalam status sosial broken home dalam keluarga. Kemudian, kurang perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama," jelas Trunoyudo.
Anak-anak yang teridentifikasi sebagai korban mendapat penanganan bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Kementerian Sosial. Selain penegakan hukum, program pembinaan juga dilakukan untuk mengembalikan anak-anak pada lingkungan aman dan sehat.
Densus 88 menekankan bahwa tren rekrutmen anak lewat media daring meningkat secara signifikan dibanding tahun 2011-2017, ketika hanya 17 anak diamankan. Fenomena ini menunjukkan perlunya kewaspadaan orang tua dan pemantauan literasi digital anak-anak di era online.