Sosialisasi dan Akselerasi Sertifikasi Halal untuk Hotel dan Rumah Makan
Table of Contents
BATU,– Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskoperindag) Kota Batu menegaskan bahwa jaminan produk halal tidak hanya berhenti pada produk akhir yang disajikan kepada konsumen. Menurutnya, integritas kehalalan harus dipastikan di seluruh rantai pasok, mulai dari bahan baku hingga proses distribusi.
Hal tersebut disampaikan oleh Yossi Hendrawan, S.ST., perwakilan dari Diskoperindag Kota Batu, saat menjadi narasumber dalam acara "Sosialisasi dan Akselerasi Sertifikasi Halal untuk Hotel dan Rumah Makan," Rabu (29/10/2025).
"Halal itu tidak hanya makanan jadinya saja. Halal itu harus dipastikan dari hulu ke hilir. Dari peternakannya, rumah potongnya, hingga distributornya," ujar Yossi.
Yossi menjelaskan, tren pasar halal kini berkembang pesat, didorong oleh populasi muslim yang mencapai 26 persen di dunia dan mayoritas di Indonesia. Ia menyebut, konsumen saat ini semakin cerdas dan kritis dalam memilih produk, di mana label halal seringkali diasosiasikan dengan kualitas dan kebersihan yang tinggi, bahkan bagi konsumen non-muslim.
Menurutnya, pemahaman mengenai produk halal perlu diperluas, karena tidak hanya mencakup makanan dan minuman. Ia memberikan contoh konkret yang sudah ada di Kota Batu.
"Jangankan makanan, produk kriya seperti batik di Batu ini sudah ada 11 UMKM yang bersertifikat halal. Yang dihalalkan apanya? Pewarnanya. Ini menunjukkan betapa luasnya cakupan ekosistem halal," jelasnya.
Baca juga : Pakar Halal UMM: Sertifikasi Halal Bukan Sekadar Legalitas, tapi Soal Niat dan Kejujuran
Tantangan di Rantai Pasok
Yossi memaparkan sejumlah tantangan yang seringkali tidak disadari oleh pelaku usaha. Salah satu yang paling krusial adalah potensi kontaminasi silang dalam proses logistik.
"Misalnya, mengirim daging halal ke Bali. Ternyata dalam satu kontainer pengiriman, tercampur dengan produk non-halal. Itu saja sudah bisa berpengaruh dan menggugurkan status kehalalannya," tegasnya.
Ia juga menyoroti risiko penipuan dan kontaminasi yang dapat merusak kepercayaan konsumen dan citra perusahaan. Sebagai contoh, ia mengutip kasus sebuah rumah makan terkenal di Solo yang mencantumkan logo halal namun terbukti menggunakan minyak babi.
"Kasus seperti ini sangat merugikan, baik bagi konsumen maupun bagi perusahaan itu sendiri yang citranya langsung hancur. Ini juga merupakan pelanggaran pidana sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal," tambahnya.
Oleh karena itu, Yossi mengajak para pelaku usaha hotel dan rumah makan di Kota Batu untuk melakukan audit internal terhadap bahan baku yang digunakan, menjaga sanitasi dapur, serta memisahkan peralatan masak untuk produk halal dan non-halal jika ada.
"Proses sertifikasi halal adalah investasi untuk membangun citra dan kepercayaan. Ketika citra restoran sudah baik dan dipercaya, otomatis akan membuka peluang pasar yang lebih luas dan menciptakan lapangan kerja baru," tutupnya.
