Royalti Musik di Kafe & Restoran: Antara Kewajiban Hukum dan Ketakutan Pengusaha
JATIMKU.COM – Polemik mengenai kewajiban membayar royalti atas pemutaran musik di kafe dan restoran kembali mencuat setelah kasus yang menimpa Mie Gacoan. Banyak pengusaha kini merasa was-was, bahkan mulai menghindari memutar lagu dengan alasan takut tersandung hukum. Sebagian bahkan mengganti musik dengan suara burung atau musik instrumental, padahal semua bentuk suara tetap memiliki pemilik hak cipta.
Menurut Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham, Agung Damarsasongko, pemutaran musik dari platform seperti Spotify atau YouTube tetap membutuhkan izin ketika dilakukan di ruang publik. "Langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik," katanya, dikutip dari Antara, 29 Juli 2025.
Hal ini mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa pemanfaatan karya cipta untuk tujuan komersial wajib membayar royalti kepada pencipta. Masalahnya, pemilik usaha merasa tidak semua pemutaran lagu di kafe termasuk dalam kategori komersialisasi.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengakui bahwa adanya aturan ini menimbulkan kekhawatiran dan kesalahpahaman di kalangan pengusaha. Ia menyebutkan bahwa pemerintah akan meninjau ulang mekanisme penerapan aturan agar tercapai solusi yang adil bagi semua pihak. "Nanti kita benahi supaya ada jalan keluar yang win-win solution," ujar Fadli di Depok, Jawa Barat, 3 Agustus 2025.
Hal senada disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Ia menegaskan bahwa pemerintah tengah berupaya mencari solusi terbaik dan adil dalam polemik royalti ini. Menurutnya, terdapat pandangan berbeda di masyarakat tentang bentuk komersialisasi karya musik.
"Ada yang merasa bahwa pemutaran lagu di kafe hanya sebagai hiburan dan bukan bentuk komersialisasi. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa pemanfaatan karya cipta dalam ruang publik tetap memerlukan pembagian hak ekonomi," jelasnya.
Sementara itu, Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Ikke Nurjanah menegaskan bahwa royalti performing rights adalah bentuk penghargaan kepada pencipta lagu. Ia menyebutkan bahwa musik memberi nilai tambah bagi tempat usaha dan tarif yang dikenakan sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Tarif royalti pun bervariasi, tergantung jenis tempat dan penggunaannya. Biaya paling rendah mulai dari Rp 60.000 per kursi per tahun. Pengusaha dapat langsung menghubungi LMKN untuk memperoleh lisensi secara resmi dan legal.
"Kami terbuka untuk berdiskusi dan memfasilitasi proses pembayaran royalti agar tidak memberatkan pengguna," kata Ikke.
Ikke juga menambahkan bahwa musisi atau penyanyi yang tampil live di kafe tidak wajib membayar royalti. Kewajiban tersebut sepenuhnya ada pada pemilik usaha. Hal ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Dengan penjelasan dari berbagai pihak ini, diharapkan para pengusaha bisa memahami pentingnya menghormati hak cipta serta bekerja sama untuk menciptakan lingkungan usaha yang saling menguntungkan.