Latest News

Ancaman Tambang di Raja Ampat, Aktivis dan Pelaku Wisata Serukan Perlindungan Penuh


Jatimku.com, Raja Ampat – Penolakan terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, terus bergema. Dari aktivis lingkungan hingga pelaku industri pariwisata dan akademisi, semuanya menyerukan satu tuntutan: hentikan tambang, lindungi Raja Ampat secara total dan permanen.

Langkah pemerintah mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan ini dinilai sebagai sinyal positif, namun dianggap belum cukup. Keempat izin yang dicabut meliputi PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawe), PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran), PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Manyaifun dan Batang Pele), serta PT Nurham (Pulau Waigeo).

“Kami menunggu surat keputusan resminya. Pencabutan ini belum cukup jika tambang masih bisa kembali lewat celah hukum. Raja Ampat butuh perlindungan permanen,” tegas Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Bertolak Belakang dengan Konservasi

Kawasan Raja Ampat diakui dunia sebagai pusat biodiversitas laut global dan telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO. Tak hanya itu, wilayah ini juga termasuk dalam Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) nasional.

Namun, aktivitas tambang yang belakangan ini kian masif di Pulau Kawe, Gag, dan Manuran justru menjadi ancaman serius bagi prinsip pariwisata berkelanjutan yang selama ini dijaga ketat.

Nunung Rusmiati, Ketua Umum ASITA (Asosiasi Pelaku Perjalanan Wisata Indonesia), mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo. Ia menyebut kehadiran tambang di jalur wisata utama seperti Manyaifun dan Batang Pele sebagai pukulan telak bagi industri wisata.

“Wisatawan diwajibkan membayar retribusi konservasi, tapi bagaimana mungkin kepercayaan itu dipertahankan jika tambang justru merusak kawasan yang dilindungi?” kata Nunung.

Pertambangan dan Pariwisata: Dua Hal yang Tak Bisa Disatukan

Nada lebih tegas disampaikan Prof. Azril Azhari dari Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia. Menurutnya, tambang dan pariwisata tidak akan pernah bisa berdampingan.

“UU No. 1 Tahun 2014 dan putusan MK jelas melarang tambang di pulau kecil seperti di Raja Ampat. Ini bukan sekadar konflik kebijakan, ini pelanggaran hukum,” ujarnya.

Ia juga menyoroti sejumlah regulasi seperti Perpres No. 81 Tahun 2023 dan RDTR Waisai 2022–2042, yang sama sekali tidak menyebutkan kawasan pertambangan, melainkan fokus pada pengembangan pariwisata dan pertanian berkelanjutan.

Suara Rakyat: Aliansi Jaga Alam Raja Ampat

Penolakan juga datang dari masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Mereka menegaskan bahwa tanah dan laut Raja Ampat adalah warisan yang harus dijaga, bukan dieksploitasi.

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi tambang bukan masa depan kami. Kami hidup dari laut dan pariwisata, bukan dari tambang,” kata salah satu perwakilan aliansi dalam pernyataan terbuka.

Desakan untuk Pemerintah Pusat

Kini bola panas ada di tangan pemerintah pusat. Seruan demi seruan telah disampaikan: Raja Ampat bukan untuk ditambang. Masyarakat berharap, pencabutan izin ini bukan sekadar formalitas, tapi langkah awal menuju perlindungan penuh dan permanen bagi kawasan yang jadi kebanggaan Indonesia dan dunia.